Ada kritik ketika saya mencoba mengembangkan sebuah layanan online lokal, sedianya saya memang membuat layanan tersebut untuk dipakai oleh masyarakat disekitar saya di Tasikmalaya, karena saya menggunakan Bahasa Indonesia, kritik itu mengusik perkara : kenapa kalau untuk layanan lokal tidak pakai Bahasa Sunda saja, tidak perlu berlagak letter ‘B’.
Saya mencoba untuk terbuka terhadap kritik, saya fikir memang jika ingin memperbaiki diri kita harus mau menerima kritik dan melakukan perbaikan. Tidak sampai disitu, saya tetap membedakan kritik menjadi dua, pertama kritik membangun, dan kedua kritik kosong. Kritik membangun adalah kritik yang sekiranya memiliki dasar yang jelas, sedangkan kritik kosong seperti udara didalam kantong muntah, begitu di pukul ledakannya keras, tapi tidak ada isinya kecuali bau aroma kantong muntah. Continue reading